Kamis, 12 November 2015

Ilmuwan-Ilmuwan Astronomi Muslim



ASTRONOMI adalah ilmu tertua sepanjang sejarah peradaban manusia,zaman babilonia, sumeria, mesir, china dan setelah runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan, maka kiblat kemajuan ilmu astronomi berpindah ke bangsa Arab. Astronomi berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8 – 15 M).
Seperti yang dikutip dari versesofuniverse.blogspot.com, Karya-karya astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan dikembangkan para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh astronomi Islam yang cukup signifikan adalah penamaan sejumlah bintang yang menggunakan bahasa Arab, seperti Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam, Mintaka (tiga bintang terang di sabuk Orion), Algol, Betelguese, Zubelnegubi. Selain itu, astronomi Islam juga mewariskan beberapa istilah dalam `Ratu Sains’ itu yang hingga kini masih digunakan, seperti Alhidade, Azimuth, Almucantar, Almanac, Zenith, Nadir, dan Vega dan masih banyak lagi. Kumpulan tulisan dari astronomi Islam hingga kini masih tetap tersimpan dan jumlahnya mencapai 10 RIBU MANUSKRIP.
Menurut para ahli sejarah, kedekatan dunia Islam dengan dunia lama yang dipelajarinya menjadi faktor berkembangnya astronomi Islam. Selain itu, begitu banyak teks karya-karya ahli astronomi yang menggunakan bahasa Yunani Kuno, dan Persia yang DITERJEMAHKAN ke dalam bahasa Arab pada abad ke 9. Salah satu yang diterjemahkan adalah karya Ptolomeus yang termasyhur, ALMAGEST. Proses ini dipertinggi dengan toleransi terhadap sarjana dari agama lain. Sayang, dominasi itu tak bisa dipertahankan umat Islam.
Ahli sejarah sains, Donald Routledge Hill, membagi sejarah astronomi Islam ke dalam 4 periode.
●Periode pertama (700-825 M) adalah masa asimilasi dan penyatuan awal dari astronomi YUNANI, INDIA dan SASSANID.
●Periode kedua (825-1025) adalah masa investigasi besar-besaran dan penerimaan serta modifikasi sistem PTOLOMEUS.
●Periode ketiga (1025-1450 M), masa kemajuan sistem astronomi Islam.
●Periode keempat (1450-1900 M), masa stagnasi, hanya sedikit kontribusi yang dihasilkan.
Ilmuwan Islam begitu banyak memberi kontribusi bagi pengembangan dunia astronomi. Buah pikir dan hasil kerja keras para sarjana Islam di era tamadun itu diadopsi serta dikagumi para saintis Barat. Inilah beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi yang telah disumbangkannya bagi pengembangan ilmu astronomi atau `ratu sains’ itu.

Al-Farghani (… – 870 M)

Nama lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat dikagumi. Beliau adalah merupakan salah ahli astronomi pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu. Kitabnya yang paling populer adalah Fi Harakat Al-Samawiyah wa Jaamai Ilm al-Nujum tentang kosmologi.
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dan tetap sangat populer di Eropa sampai masa Regiomontanus. Pengetahuan Dante Alighieri tentang astronomi Ptolemaic, yang terlihat dalam bukunya Divina Commedia serta karya-karya lainnya seperti Convivio, tampaknya telah diambil dari karya Alfraganus yang dia baca. Pada abad ke-17 orientalis Belanda Jacob Golius menerbitkan teks Arab atas manuskrip yang diperolehnya di Timur Dekat, dengan terjemahan Latin baru dan catatan yang ekstensif.

Al-Battani (858 – 929 M).

Al-Batani banyak mengoreksi perhitungan Ptolomeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu. Dia membuktikan kemungkinan gerhana matahari tahunan dan menghitung secara lebih akurat sudut lintasan matahari terhadap bumi, perhitungan yang sangat akurat mengenai lamanya setahun matahari 365hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik.
Al-Battani mengusulkan teori baru untuk menentukan kondisi dapat terlihatnya bulan baru. Tak hanya itu, ia juga berhasil mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam) menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24 jam.
Buku fenomenal karya Al-Battani pun diterjemahkan Barat. Buku “De Scienta Stelarum De Numeris Stellarum” itu kini masih disimpan di VATIKAN ROMA ITALIA. Tokoh-tokoh astronomi EROPA seperti “Copernicus”, “Regiomantanus”, “Kepler” dan “Peubach” TAK MUNGKIN MENCAPAI SUKSES tanpa jasa Al-Batani. Copernicus dalam bukunya ‘De Revoltionibus Orbium Clestium’ mengaku berutang budi pada Al-Battani.

Al-Sufi (903 – 986 M)

Orang Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi. Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi terapan. Ia berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan, dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam Kitab Al-Kawakib as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang, memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada menulis mengenai ASTROLABEL (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara penggunaannya.

Ibnu Yunus (950 -1009 M)

Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah KAWAH di PERMUKAAN BULAN. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus. Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003M untuk memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang besar, hingga berdiameter 1,4meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari 10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
Karya Ibnu Yunus ‘paling terkenal dalam astronomi Islam adalah al-Zij al-Kabir al-Hakimi (1000 M), adalah buku panduan dari tabel astronomi yang berisi pengamatan yang sangat akurat, banyak yang mungkin telah diperoleh dengan instrumen astronomi yang sangat besar. Menurut NM Swerdlow, Zij al-Kabir al-Hakimi adalah “sebuah karya orisinalitas luar biasa. Sayang hanya lebih dari setengahnya yang selamat (diketahui)”.
Yunus mengungkapkan solusi dalam zij tanpa simbol matematika, namun Delambre mencatat di tahun 1819 terjemahannya dari tabel Hakemite bahwa dua metode Ibnu Yunus ‘untuk menentukan waktu dari ketinggian matahari atau bintang, setara dengan identitas trigonometri 2cos (a ).cos (b) = cos (a + b) + cos (ab) diidentifikasi dalam naskah abad ke-16 Johannes Werner pada bab kerucut. Sekarang diakui sebagai salah satu formula Werner, formula ini penting untuk pengembangan prosthaphaeresis dan logaritma beberapa puluh tahun kemudian. Ibnu Yunus juga menjelaskan 40 konjungsi planet dan 30 gerhana bulan.

Ibnu Haitham (965 – 10390 M)

Ibnu Haitham merupakan ilmuwan yang gemar melakukan penyelidikan. Penyelidikannya mengenai cahaya telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler mencipta mikroskop serta teleskop. Ia merupakan orang pertama yang menulis dan menemukan berbagai data penting mengenai cahaya.
Beberapa buah buku mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antara lain Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana.
Menurut Ibnu Haitham, cahaya fajar bermula apabila mata­hari berada di garis 19 derajat di ufuk timur. Warna merah pada senja pula akan hilang apabila mata­hari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Dalam kajiannya, beliau juga telah berhasil menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Ibnu Haitham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar, dan dari situ ditemukanlah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para ilmuwan di Itali untuk menghasilkan kaca pembesar yang pertama di dunia.
Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haitham telah menemui prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan yang bernama Trricella yang mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian. Ibnu Haitham juga telah menemukan kewujudan tarikan gravitasi sebelum Issaac Newton mengetahuinya. Selain itu, teori Ibnu Hai­tham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur telah memberikan ilham kepada ilmuwan barat untuk menghasilkan wayang gambar. Teori beliau telah membawa kepada penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada masa kini.

Al-Biruni (973 – 1050 M)

Al Biruni dalam perangko Sovyet

Ahli astronomi yang satu ini, turut memberi sumbangan dalam bidang astrologi pada zaman Renaissance. Ia telah menyatakan bahwa bumi berputar pada porosnya. Pada zaman itu, Al-Biruni juga telah memperkirakan ukuran bumi dan membetulkan arah kota Makkah secara saintifik dari berbagai arah di dunia. Dari 150 hasil buah pikirnya, 35 diantaranya didedikasikan untuk bidang astronomi.
* Saat berusia 17 tahun, dia meneliti garis lintang bagi Kath, Khwarazm, dengan menggunakan altitude maksima matahari.* Saat berusia 22, dia menulis beberapa hasil kerja ringkas, termasuk kajian proyeksi peta, “Kartografi”, yang termasuk metodologi untuk membuat proyeksi belahan bumi pada bidang datar.
* Saat berusia 27, dia telah menulis buku berjudul “Kronologi” yang merujuk kepada hasil kerja lain yang dihasilkan oleh beliau (sekarang tiada lagi) termasuk sebuah buku tentang astrolab, sebuah buku tentang sistem desimal, 4 buku tentang pengkajian bintang, dan 2 buku tentang sejarah.
* Beliau membuat penelitian radius Bumi kepada 6.339,6 kilometer (hasil ini diulang di Barat pada abad ke 16).

Al-Zarqali (1029 – 1087 M)

Saintis Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali diabadikan pada perangko di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Beliau telah menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
Al-Zarqali mengoreksi data geografis dari Ptolemy dan Al-Khwarizmi. Secara khusus, ia mengoreksi perkiraan Ptolmey tentang panjang laut Mediterania dari 62 derajat ke nilai yang benar, yaitu 42 derajat. Dalam risalahnya yang berjudul tahun matahari, yang bertahan hanya dalam terjemahan bahasa Ibrani, ia adalah yang pertama yang menunjukkan gerak relatif dari apogee matahari terhadap latar belakang bintang tetap. Ia mengukur laju gerak adalah 12,9 detik per tahun, yang sangat dekat dengan perhitungan modern 11,6 detik. Model Al-Zarqālī untuk gerakan Matahari,. Dimana pusat deferent Matahari bergerak perlahan melingkar untuk mereproduksi gerakan teramati dari apogee surya, telah dibahas pada abad ketiga belas oleh Bernard dari Verdun dan pada abad kelima belas oleh Regiomontanus dan Peurbach. Pada abad keenam belas Copernicus mengembangkan dan memodifikasi model ini, ke bentuk heliosentris, dan dia tulis di dalam De Revolutionibus Orbium Coelestium nya.

Jabir Ibn Aflah (1100–1150)

Abū Muḥammad Jabir bin Aflah (bahasa Arab: أبو محمد جابر بن أفلح, Latin: Geber / Gebir, 1.100-1.150) adalah seorang astronom Muslim dan matematika dari Sevilla, yang aktif di Andalusia abad ke-12. Karyanya Islah al-Majisṭi (Koreksi dari Almagest) mempengaruhi astronomi Islam, Yahudi dan Kristen.
Karya ini merupakan komentar dan pengerjaan ulang dari Almagest nya Ptolemy dan merupakan kritik pertama terhadap Almagest di dunia Islam bagian barat. Dia terutama mengkritik dasar matematika dari Almagest. Misalnya ia menggantikan penggunaan teorema Menelaus ‘ yang didasarkan pada trigonometri bola, dengan apa yang tampaknya merupakan upaya untuk meningkatkan presisi matematis dari pekerjaan. Teorema baru ini telah dikembangkan oleh sekelompok ahli matematika islam abad 10 yang termasuk Abu al-Wafa ‘Būzjānī dan kemudian juga oleh Abu Abdullah Muhammad ibn Muadh Al-Jayyani yang bekerja di Andalusia selama abad ke-11. Jabir tidak mengambil kredit dari salah satu penulis dan tidak mengacu pada seorang penulis Islam tunggal dalam karya ini.
Salah satu perubahan substansial yang dibuat Jabir untuk akun Ptolemy adalah bahwa ia menempatkan orbit Venus dan Merkurius, planet-planet minor, di luar dari Matahari, dan bukan antara Bulan dan Matahari seperti yang dituliskan dalam karya asli Ptolemy.
Dia menciptakan instrumen pengamatan yang dikenal sebagai torquetum, alat mekanis untuk mengubah antara sistem koordinat bola.
Beberapa penulis Islam kemudian dipengaruhi oleh Jabir, termasuk Ibnu Rusyd (Averroes) dan Nur ad-Din al-Betrugi, keduanya bekerja di Andalusia. Karya Jabir juga menular ke Mesir pada abad ke-12 oleh Maimonides dan lebih ke timur pada akhir abad ke-13.
Karya Jabir diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Ibrani dan Latin, yang terakhir oleh Gerard dari Cremona, yang melatinkan namanya menjadi “Geber”. Melalui saluran ini, karya Jabir memiliki pengaruh luas pada matematikawan dan astronom Eropa yang muncul kemudian dan membantu memperkenalkan trigonometri di Eropa.
Sebagian besar materi pada trigonometri bola di ‘Regiomontanus Pada Segitiga (c.1463) diambil secara langsung dan tanpa kredit dari karya Jabir, seperti yang tercantum dalam abad ke-16 oleh Gerolamo Cardano. Trigonometri yang Nicholas Copernicus (1473-1543) diuraikan dalam bagian pertama dari karya fiksi ilmiah De revolutionibus juga rupanya terinspirasi oleh Jabir.

Nasiruddin at-Tusi (1201 – 1274 M)

Nasiruddin at-Tusi berhasil membuat tabel pergerakan planet yang sangat akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab Zij-i Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan dalam bahasa Arab. Kitab itu disusun setelah 12 tahun memimpin obeservatorium Malagha.
Selain itu, al-Tusi juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya berudul Al-Tadhkira fi’ilm Al-hay’a (Memoir Astronomi). Nasiruddin mampul memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Ia wafat pada 26 Juni 1274 di Baghdad. Meski begitu, jasa dan kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan masih tetap dikenang.

Ibnu Al Syatir (1304 – 1375 M)

Ide Ibn Al-Syatir tentang PLANET BUMI MENGELILINGI MATAHARI telah Menginspirasi Copernicus. Akibatnya, COPERNICUS dimusuhi gereja dan dianggap pengikut setan. Demikian juga GALILEO, yang merupakan pengikut Copernicus, secara resmi dikucilkan oleh Gereja Katolik dan dipaksa untuk bertobat, namun dia menolak.
Ibnu Al-Shatir merombak habis Teori Geosentris yang dicetuskan Claudius Ptolemaeus atau Ptolemy (90 SM– 168 SM). Secara matematis, al-Shatir memperkenalkan adanya epicycle yang rumit (sistem lingkaran dalam lingkaran). Al-Shatir mencoba menjelaskan bagaimana gerak merkurius jika bumi menjadi pusat alam semestanya dan merkurius bergerak mengitari bumi.
Model bentuk Merkurius Ibnu al-Shatir menunjukkan penggandaan dari epicycle menggunakan Tusi-couple, sehingga menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic. Menurut George Saliba dalam karyanya A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam, Kitab Nihayat al-Sul fi Tashih al-Usul, merupakan risalah astronomi Ibnu Al-Shatir yang paling penting.
“Dalam kitab itu, secara drastis ia mereformasi model matahari, bulan, dan planet Ptolemic. Dengan memperkenalkan sendiri model non-Ptolemic yang menghapuskan epicycle pada model matahari, yang menghapuskan eksentrik dan equant. Dengan memperkenalkan epicycle ekstra pada model planet melalui model Tusi-couple, dan yang menghilangkan semua eksentrik/eccentric, epicycle dan equant di model bulan,” jelas Saliba.

Model Ibn al-Shatir untuk penampilan Merkurius, menunjukkan perbanyakan epicycles menggunakan Tusi-couple, menghilangkan eksentrik dan equant teori Ptolemaic.

Sebelumnya, aliran Maragha hanya berpatokan pada model yang sama dengan model Ptolemaic. Model geometris Ibnu al-Shatir merupakan karya pertama yang benar-benar unggul daripada model Ptolemaic karena modelnya ini lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris.
Ibnu al-Shatir juga berhasil melakukan pemisahan filsafat alam dari astronomi dan menolak model empiris Ptolemic dibanding filsafat dasar. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir tidak peduli dengan mempertahankan teori prinsip kosmologi atau filsafat alam (atau fisika Aristoteles), melainkan untuk memproduksi sebuah model yang lebih konsisten dengan pengamatan empiris.
Modelnya menjadi lebih baik sesuai dengan pengamatan empiris daripada model-model sebelumnya yang diproduksi sebelum dia. Saliba menambahkan karyanya tersebut menjadi karya penting dalam astronomi, yang dapat dianggap sebagai sebuah “Revolusi ilmiah sebelum Renaissance”.
Dalam membuat model barunya tersebut, Ibnu al-Shatir melakukan pengujian dengan melakukan pengamatan empiris. Tidak seperti astronomer sebelumnya, Ibnu al-Shatir umumnya tidak keberatan terhadap falsafah astronomi Ptolemaic, tetapi ia ingin menguji seberapa jauh teori Ptolemy cocok dengan pengamatan empirisnya.
Dia menguji model Ptolemaic, dan jika ada yang tidak cocok dengan pengamatannya, maka ia akan merumuskan sendiri model non-Ptolemaic pada bagian yang tidak cocok dengan pengamatannya. Pengamatannya yang akurat membuatnya yakin untuk menghapus epicycle dalam model matahari Ptolemaic.
Ibnu al-Shatir juga merupakan astromer pertama yang memperkenalkan percobaan dalam teori planet untuk menguji model dasar empiris Ptolemaic. Saat menguji model matahari Ptolemaic, Ibnu al-Shatir memaparkan ”pengujian nilai Ptolemaic untuk bentuk dan ukuran matahari dengan menggunakan pengamatan gerhana bulan.”
“Karyanya tentang percobaan dan pengamatannya memang telah musnah, namun buku The Final Quest Concerning the Rectification of Principles adalah milik al-Shatir,” papar Saliba.
Pengaruh Karya Ibnu Al-Shatir
“Meskipun sistemnya merupakan geosentri yang kuat, dia telah menghapuskan equant dan accentric Ptolemaic dan rincian sistem matematikanya hampir serupa dengan karya Copernicus’ De revolutionibus,” jelas V Roberts and E. S. Kennedy dalam karyanya “The Planetary Theory of Ibn al-Shatir”.
Menurut Saliba, model bulan Copernicus juga tidak berbeda dengan model Ibnu al-Shatir. Dengan demikian dapat percaya bahwa model Ibnu al-Shatir telah diadaptasi oleh Copernicus dalam model heliocentric.
“Walaupun masih belum jelas bagaimana ini dapat terjadi, diketahui bahwa manuskrip Byzantine Yunani yang berisi Tusi-couple tempat Ibnu al-Shatir bekerja telah mencapai Italia pada abad ke-15 M,” jtutur AI Sabra dalam karyanya “Configuring the Universe: Aporetic, Problem Solving, and Kinematic Modeling as Themes of Arabic Astronomy”.
Saliba menambahkan, diagram model heliocentric yang dikembangkan Copernicus, termasuk tanda-tanda dari poin, hampir sama dengan diagram dan tanda-tanda yang digunakan Ibnu al-Shatir pada model geosentrisnya. “Sehingga sangat mungkin bahwa Copernicus terpengaruh karya Ibnu al-Shatir,” ujarnya.
YM Faruqi dalam karyanya ” Contributions of Islamic scholars to the scientific enterprise”, mengungkapkan, “Teori pergerakan bulan Ibnu al-Shatir sangat mirip dengan yang dicetuskan Copernicus sekitar 150 tahun kemudian”. Begitulah Ilmuwan Muslim al-Shatir mampu memberi pengaruh bagi dunia Barat.
Kontribusi Al-Shatir dalam Bidang Teknik
* Jam Astrolab
David A King dalam bukunya bertajuk The Astronomy of the Mamluks menjelaskan bahwa Ibnu al-Shatir menemukan jam astrolabe pertama di awal abad ke-14 M.
Astrolab adalah instrumen astronomi zaman dahulu yang digunakan oleh astronom, navigator, dan astrolog pada era klasik. Astrolab banyak digunakan untuk menentukan lokasi dan memprediksi posisi matahari, bulan, planet, dan bintang; menentukan waktu lokal dengan diketahui letak bujur dan letak lintang; survei; serta triangulasi. Pada era Islam abad pertengahan, astrolab terutama digunakan untuk mempelajari astronomi, navigasi, survei, penentu waktu, salat, serta menentukan arah kiblat.
* Jam Matahari
Menurut catatan sejarah, sundial atau jam matahari merupakan jam tertua dalam peradaban manusia. Jam ini telah dikenal sejak tahun 3500 SM. Pembuatan jam matahari di dunia Islam dilakukan oleh Ibnu al-Shatir, seorang ahli Astronomi Muslim ( 1304-1375 M). “Ibnu al-Shatir merakit jam matahari yang bagus sekali untuk menara Masjid Umayyah di Damaskus,” ujar David A King dalam karyanya bertajuk The Astronomy of the Mamluks.
Berkat penemuannya itu, ia kemudian dikenal sebagai muwaqqit (pengatur waktu ibadah) pada Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah. Jam yang dibuat Ibnu al-Shatir itu masih tergolong jam matahari kuno yang didasarkan pada garis jam lurus. Ibnu al-Shatir membagi waktu dalam sehari dengan 12 jam, pada musim dingin waktu pendek, sedangkan pada musim panas waktu lebih panjang. Jam mataharinya itu merupakan polar-axis sundial paling tua yang masih tetap eksis hingga kini.
“Jam mataharinya merupakan jam tertua polar-axis sundial yang masih ada. Konsep kemudian muncul di Barat jam matahari pada 1446,” ungkap Jones, Lawrence dalam karyanya “The Sundial And Geometry”.
* Kompas
David A.King mengatakan Ibnu al-Shatir juga menemukan kompas, sebuah perangkat pengatur waktu yang menggabungkan jam matahari dan kompas magnetis pada awal abad ke-14 M.
* Instrumen Universal
Ibnu al-Shatir menjelaskan instrumen astronomi lainnya yang ia disebut sebagai “instrumen universal”. Penemuan al-Shatir ini kemudian dikembangkan seorang astronomer dan rekayawasan legendaris di era kekhalifahan Turki Usmani, Taqi al-Din. Iinstrumen itu digunakandi observatorium al-Din Istanbul 1577-1580 M

Kegemilangan Observatorium Ulugh Beg
Sejatinya observatorium pertama di dunia dibangun astronom Yunani bernama HIPPARCHUS (150 SM). Namun, di mata ahli astronomi Muslim abad pertengahan, konsep observatorium yang dilahirkan Hipparcus itu jauh dari memadai. Sebagai ajang pembuktian, para sarjana Muslim pun membangun observatorium yang lebih moderen pada zamannya.
Sejumlah astronom Muslim yang dipimpin Nasir al-Din al-Tusi berhasil membangun observatorium astronomi di Maragha pada 1259 M. Observatorium itu dilengkapi perpustakaan dengan koleksi buku mencapai 400 RIBU judul. Observatorium Maragha juga telah melahirkan sejumlah astronom terkemuka seperti, QuIb al-Din al-Shirazy, Mu’ayyid al-Din al-Urdy, Muiyi al-Din al-Maghriby, dan banyak lagi.

Model dari observatorium Maragha

Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas dalam tulisannya berjudul The Legacy of Ulugh Beg mengungkapkan, observatorium termegah yang dibangun sarjana Muslim adalah ULUGH BEG. Observatorium itu dibangun seorang penguasa keturunan Mongol yang bertahta di Samarkand bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg (1393-1449). Dia adalah seorang pejabat yang menaruh perhatian terhadap astronomi.
Ketertarikan Ulugh Beg dalam astronomi bemula, ketika dia mengunjungi Observatorium Maragha yang dibangun ahli astronomi Muslim terkemuka, Nasir al-Din al-Tusi,” tutur Krisciunas. Geliat pengkajian astronomi di Samarkand mulai berlangsung pada tahun 1201. Namun, aktivitas astronomi yang sesungguhnya di wilayah kekuasaan Ulugh Beg mulai terjadi pada 1408 M.

Ulugh Beg Observatory

Ghirah astronomi di Samarkand mengalami puncaknya ketika Ulugh Beg mulai membangun observatorim pada 1420. Menurut Kriscunas, berdasarkan laporan yang ditulis ahli astronomi pada saat iru, Al-Kashi aktivitas pengkajian astronomi di Observatorium Ulugh Beg didukung oleh 70 SARJANA. Para ahli astronomi itu mendapatkan perlakukan istimewa dengan fasilitas dan gaji yang luar biasa besarnya. Observatorium ini beroperasi selama 50 tahun.

Sumber: Terselubung.in
cr : http://demokisnahafizh.blogspot.co.id/2015/01/ilmuwan-ilmuwan-astronomi-muslim.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar